Minggu, 07 Maret 2010

Kalkulus

Kalkulus (Bahasa Latin: calculus, artinya "batu kecil", untuk menghitung) adalah cabang ilmu matematika yang mencakup limit, turunan, integral, dan deret takterhingga. Kalkulus adalah ilmu mengenai perubahan, sebagaimana geometri adalah ilmu mengenai bentuk dan aljabar adalah ilmu mengenai pengerjaan untuk memecahkan persamaan serta aplikasinya. Kalkulus memiliki aplikasi yang luas dalam bidang-bidang sains, ekonomi, dan teknik; serta dapat memecahkan berbagai masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan aljabar elementer.

Kalkulus memiliki dua cabang utama, kalkulus diferensial dan kalkulus integral yang saling berhubungan melalui teorema dasar kalkulus. Pelajaran kalkulus adalah pintu gerbang menuju pelajaran matematika lainnya yang lebih tinggi, yang khusus mempelajari fungsi dan limit, yang secara umum dinamakan analisis matematika.

sejarah perkembangan

Sejarah perkembangan kalkulus bisa ditilik pada beberapa periode zaman, yaitu zaman kuno, zaman pertengahan, dan zaman modern. Pada periode zaman kuno, beberapa pemikiran tentang kalkulus integral telah muncul, tetapi tidak dikembangkan dengan baik dan sistematis. Perhitungan volume dan luas yang merupakan fungsi utama dari kalkulus integral bisa ditelusuri kembali pada Papirus Moskwa Mesir (c. 1800 SM) di mana orang Mesir menghitung volume piramida terpancung[1]. Archimedes mengembangkan pemikiran ini lebih jauh dan menciptakan heuristik yang menyerupai kalkulus integral.[2]

Pada zaman pertengahan, matematikawan India, Aryabhata, menggunakan konsep kecil takterhingga pada tahun 499 dan mengekspresikan masalah astronomi dalam bentuk persamaan diferensial dasar.[3] Persamaan ini kemudian mengantar Bhāskara II pada abad ke-12 untuk mengembangkan bentuk awal turunan yang mewakili perubahan yang sangat kecil takterhingga dan menjelaskan bentuk awal dari "Teorema Rolle".[4] Sekitar tahun 1000, matematikawan Irak Ibn al-Haytham (Alhazen) menjadi orang pertama yang menurunkan rumus perhitungan hasil jumlah pangkat empat, dan dengan menggunakan induksi matematika, dia mengembangkan suatu metode untuk menurunkan rumus umum dari hasil pangkat integral yang sangat penting terhadap perkembangan kalkulus integral.[5] Pada abad ke-12, seorang Persia Sharaf al-Din al-Tusi menemukan turunan dari fungsi kubik, sebuah hasil yang penting dalam kalkulus diferensial. [6] Pada abad ke-14, Madhava, bersama dengan matematikawan-astronom dari mazhab astronomi dan matematika Kerala, menjelaskan kasus khusus dari.. deret Taylor[7], yang dituliskan dalam teks Yuktibhasa.[8][9][10]

Pada zaman modern,, penemuan independen terjadi pada awal abad ke-17 di Jepang oleh matematikawan seperti Seki Kowa. Di Eropa, beberapa matematikawan seperti John Wallis dan Isaac Barrow memberikan terobosan dalam kalkulus. James Gregory membuktikan sebuah kasus khusus dari teorema dasar kalkulus pada tahun 1668.
Gottfried Wilhelm Leibniz pada awalnya dituduh menjiplak dari hasil kerja Sir Isaac Newton yang tidak dipublikasikan, namun sekarang dianggap sebagai kontributor kalkulus yang hasil kerjanya dilakukan secara terpisah.

Leibniz dan Newton mendorong pemikiran-pemikiran ini bersama sebagai sebuah kesatuan dan kedua orang ilmuwan tersebut dianggap sebagai penemu kalkulus secara terpisah dalam waktu yang hampir bersamaan. Newton mengaplikasikan kalkulus secara umum ke bidang fisika sementara Leibniz mengembangkan notasi-notasi kalkulus yang banyak digunakan sekarang.

Ketika Newton dan Leibniz mempublikasikan hasil mereka untuk pertama kali, timbul kontroversi di antara matematikawan tentang mana yang lebih pantas untuk menerima penghargaan terhadap kerja mereka. Newton menurunkan hasil kerjanya terlebih dahulu, tetapi Leibniz yang pertama kali mempublikasikannya. Newton menuduh Leibniz mencuri pemikirannya dari catatan-catatan yang tidak dipublikasikan, yang sering dipinjamkan Newton kepada beberapa anggota dari Royal Society.

Pemeriksaan secara terperinci menunjukkan bahwa keduanya bekerja secara terpisah, dengan Leibniz memulai dari integral dan Newton dari turunan. Sekarang, baik Newton dan Leibniz diberikan penghargaan dalam mengembangkan kalkulus secara terpisah. Adalah Leibniz yang memberikan nama kepada ilmu cabang matematika ini sebagai kalkulus, sedangkan Newton menamakannya "The science of fluxions".

Sejak itu, banyak matematikawan yang memberikan kontribusi terhadap pengembangan lebih lanjut dari kalkulus.

Kalkulus menjadi topik yang sangat umum di SMA dan universitas zaman modern. Matematikawan seluruh dunia terus memberikan kontribusi terhadap perkembangan kalkulus.[11]

Pengaruh penting

Walau beberapa konsep kalkulus telah dikembangkan terlebih dahulu di Mesir, Yunani, Tiongkok, India, Iraq, Persia, dan Jepang, penggunaaan kalkulus modern dimulai di Eropa pada abad ke-17 sewaktu Isaac Newton dan Gottfried Wilhelm Leibniz mengembangkan prinsip dasar kalkulus. Hasil kerja mereka kemudian memberikan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan fisika.

Aplikasi kalkulus diferensial meliputi perhitungan kecepatan dan percepatan, kemiringan suatu kurva, dan optimalisasi. Aplikasi dari kalkulus integral meliputi perhitungan luas, volume, panjang busur, pusat massa, kerja, dan tekanan. Aplikasi lebih jauh meliputi deret pangkat dan deret Fourier.

Kalkulus juga digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih rinci mengenai ruang, waktu, dan gerak. Selama berabad-abad, para matematikawan dan filsuf berusaha memecahkan paradoks yang meliputi pembagian bilangan dengan nol ataupun jumlah dari deret takterhingga. Seorang filsuf Yunani kuno memberikan beberapa contoh terkenal seperti paradoks Zeno. Kalkulus memberikan solusi, terutama di bidang limit dan deret takterhingga, yang kemudian berhasil memecahkan paradoks tersebut.

limit tak hingga
Kalkulus pada umumnya dikembangkan dengan memanipulasi sejumlah kuantitas yang sangat kecil. Objek ini, yang dapat diperlakukan sebagai angka, adalah sangat kecil. Sebuah bilangan dx yang kecilnya tak terhingga dapat lebih besar daripada 0, namun lebih kecil daripada bilangan apapun pada deret 1, ½, ⅓, ... dan bilangan real positif apapun. Setiap perkalian dengan kecil tak terhingga (infinitesimal) tetaplah kecil tak terhingga, dengan kata lain kecil tak terhingga tidak memenuhi properti Archimedes. Dari sudut pandang ini, kalkulus adalah sekumpulan teknik untuk memanipulasi kecil tak terhingga.

Pada abad ke-19, konsep kecil tak terhingga ini ditinggalkan karena tidak cukup cermat, sebaliknya ia digantikan oleh konsep limit. Limit menjelaskan nilai suatu fungsi pada nilai input tertentu dengan hasil dari nilai input terdekat. Dari sudut pandang ini, kalkulus adalah sekumpulan teknik memanipulasi limit-limit tertentu. Secara cermat, definisi limit suatu fungsi adalah:

http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:L%C3%ADmite_01.svg

tabel integral

1. \int af(x)\,dx = a\int f(x)\,dx \qquad\mbox{(}a \mbox{ konstan)}\,\!
2. \int [f(x) + g(x)]\,dx = \int f(x)\,dx + \int g(x)\,dx
3. \int f(x)g(x)\,dx = f(x)\int g(x)\,dx - \int \left[f'(x) \left(\int g(x)\,dx\right)\right]\,dx
4. \int [f(x)]^n f'(x)\,dx = {[f(x)]^{n+1} \over n+1} + C \qquad\mbox{(untuk } n\neq -1\mbox{)}\,\!
5. \int {f'(x)\over f(x)}\,dx= \ln{\left|f(x)\right|} + C
6. \int {f'(x) f(x)}\,dx= {1 \over 2} [ f(x) ]^2 + C

tabel integral

kalu pengen tabel integral disini neh http://integral-table.com/
Solusi Persamaan Deferensial Orde 2

Hem teringat jaman kuliah persamaan deferensial yang harus mengulang beberapa tahun yang lalu. Padahal kalo mau sedikit saja belajar tidak begitu susah. Yah beginilah manusia.
Sedikit mengingat saja biar nanti saat saya lupa bisa pergi ke blog sendiri untuk mereview:
Bentuk umum dari persamaan deferensial orde 2 adalah: a{d^2y}/{dx^2}+b{dy}/{dx}+cy=f(x)
Untuk mencari solusinya kita harus meneliti dari 2 keadaan, yaitu jika f(x) = 0 dan f(x) <>0″ title=”f(x) <>0″/>
Yang pertama, f(x)=0, maka bentuk umumnya adalah : untuk mencari solusinya maka diperlukan persamaan karakteristiknya yaitu am^2+bm+c=0. Setelah itu kita cari solusi dari persamaan karakteristiknya yaitu didapat m_1 dan m_2
Maka solusi dari persamaan deferensial tersebut adalah y=Ae^{m_1x}+Be^{m_2x}.
Contoh:
Carilah solusi dari {d^2y}/{dx^2}+3{dy}/{dx}+2y=0….. maka:
Persamaan karakteristiknya adalah m^2+3m+2=0, maka (m+1)(m+2)=0 sehingga m_1=-1 dan m_2=-2.
Jadi solusi untuk {d^2y}/{dx^2}+3{dy}/{dx}+2y=0 adalah :
y=Ae^{-x}+Be^{-2x}
Sementara ini dulu.. nanti kita lanjut mencari solusi apabila m_1=m_2, OK?
beda turunan dengan deferensial
Misalkan: .
Selanjutnya, akan lebih mudah menggunakan gambar:

Seharusnya dari keterangan di atas, sudah jelas bahwa turunan dan diferensial itu berbeda. Turunan adalah hasil pembagian antara 2 buah diferensial.
Sebagai contoh,
Jika kita mengatakan bahwa "turunan dari adalah ", maka pernyataan itu adalah BENAR, karena . Tapi, akan SALAH jika turunan disamakan dengan diferensial. Jika kita mengatakan bahwa "diferensial dari adalah ", maka pernyataan itu adalah SALAH. Kalau ingin betulnya, harus seperti ini: "diferensial dari adalah dikalikan dengan diferensial x" atau dapat ditulis begini: .. Memang.. Sepertinya hal sepele, namun krusial sebagai konsep...

Lalu, kenapa dinamakan diferensial???
Ingat-ingat kembali rumus turunan:

Yupp.. Diferensial adalah selisih variabel (Ingat "difference" dalam bahasa inggris artinya "beda", bukan?).. Sekadar mengingatkan, di rumus di atas, maka x adalah variabel bebas sedangkan y adalah variabel terikat.. Sebenarnya, bisa saja rumusnya begini:

Di atas maka y adalah variabel bebas sedangkan nilai x terikat terhadap variabel y.
Jika , maka (Ingat fungsi invers)..

Betul Atau Salah?!?
Di sini akan diberikan beberapa pernyataan (persamaan), silakan dijawab apakah pernyataan tersebut betul atau salah...
1.
2.
3.
Jawab:
Ketiganya BENAR. Bisakah kalian tahu mengapa??

Kenapa banyak orang yang terbalik mengenai kedua istilah ini??
Pertanyaan yang bersifat analitik dan dijawab dengan "sok tahu"-nya saya.. Pertama, mereka tidak pernah diajarkan mengenai perbedaan keduanya. Kedua, diferensial itu bagian dari Derivatif.. Jadi, "betty" alias beda tipiss.. Ketiga, mungkin saja, mereka tertukar dengan istilah-istilah lainnya, seperti:
kalkulus diferensial: materi kalkulus yang belajar tentang turunan.
diferensiasi: proses menurunkan.
differentiable (diferensiabel): dapat diturunkan atau turunan fungsi di titik itu exist (ada).
Bentuk paling sederhana dari persamaan diferensial adalah
 \frac{\part u}{\part x}=0\,
di mana u suatu fungsi tak diketahui dari x dan y. Hubungan ini mengisyaratkan bahwa nilai-nilai u(x,y) adalah tidak bergantung dari x. Oleh karena itu solusi umum dari persamaan ini adalah
u(x,y) = f(y),\,
di mana f adalah suatu fungsi sembarang dari variabel y. Analogi dari persamaan diferensial biasa untuk persamaan ini adalah
 \frac{du}{dx}=0\,
yang memiliki solusi
u(x) = c,\,
di mana c bernilai konstan (tidak bergantung dari nilai x). Kedua contoh di atas menggambarkan bahwa solusi umum dari persamaan diferensial biasa melibatkan suatu kostanta sembarang, akan tetapi solusi dari persamaan diferensial parsial melibatkan suatu fungsi sembarang. Sebuah solusi dari persamaan diferensial parsial secara umum tidak unik; kondisi tambahan harus disertakan lebih lanjut pada syarat batas dari daerah di mana solusi didefinisikan. Sebagai gambaran dalam contoh sederhana di atas, fungsi \!f(y) dapat ditentukan jika \!u dispesifikasikan pada sebuah garis \!x=0.

pdf klik link berikut
http://mathematica.aurino.com/wp-content/uploads/2008/11/turunan-diferensial-taylor.pdf

Sabtu, 06 Februari 2010

Analisis perbaikan butir soal

A. Mengapa Analisis Butir Soal Penting?

Dengan melakukan analisis butir soal dapat diperoleh banyak informasi yang bermanfaat, baik untuk guru, siswa maupun proses pembelajaran itu sendiri. Menganalisis butir soal dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan kualitas butir soal tersebut. Menurut Nitko (1983), analisis butir soal menggambarkan suatu proses pengambilan data dan penggunaan informasi tentang butir-butir soal, terutama informasi tentang respon siswa terhadap setiap butir soal. Lebih lanjut penggunaan analisis butir soal adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apakah butir-butir soal yang disusun sudah berfungsi sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh penyusun soal. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Apakah soal-soal yang disusun sudah sesuai untuk mengukur perubahan tingkah laku seperti telah dirumuskan dalam tujuan pembelajaran khusus?
  2. Apakah tingkat kesukaran soal sudah diperhitungkan?
  3. Apakah soal tersebut sudah mampu membedakan antara siswa yang pandai dengan siswa yang kurang pandai?
  4. Apakah kunci soal sudah sesuai dengan maksud soal?
  5. Jika digunakan tes pilihan ganda, apakah pengecoh (distractor) yang dipilih sudah berfungsi dengan baik?
  6. Apakah soal tersebut masih dapat ditafsirkan ganda atau tidak?
2. Sebagai umpan balik bagi siswa untuk mengetahui kemampuan mereka dalam menguasai suatu materi.
3. Sebagai umpan balik bagi guru untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami siswa dalam memahami suatu materi.
4. Sebagai acuan untuk merevisi soal.
5. Untuk memperbaiki (meningkatkan) kemampuan guru dalam menulis soal.

B. Kapan Analisis Butir Soal Dilakukan?

Pada saat guru mengujikan suatu set soal untuk mengambil keputusan penting tentang hasil belajar siswa, maka idealnya guru harus yakin bahwa set soal tersebut adalah valid dan reliabel. Validitas set soal dapat diketahui dari kisi-kisi soal sedangkan reliabilitas soal baru dapat diketahui setelah uji coba. Sehingga untuk mengetahui reliabilitas set soal dilakukanlah analisis butir soal.
1. Tingkat Kesukaran (P)
Tingkat kesukaran suatu butir soal merupakan salah satu yang dapat menunjukkan kualitas butir soal tersebut (mudah, sedang, sukar). Suatu butir soal dikatakan mudah jika sebagian besar siswa dapat menjawab dengan benar dan dikatakan sukar jika sebagian besar siswa tidak dapat menjawab dengan benar. Besarnya tingkat kesukaran butir soal dapat dihitung dengan memperhatikan proporsi peserta tes yang menjawab benar terhadap setiap butir soal, dalam hal ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
P = B / N
Keterangan:
P adalah indeks tingkat kesukaran butir soal
B adalah jumlah peserta tes yang menjawab benar
N adalah jumlah seluruh peserta tes
Contoh:
Jika butir soal nomor 1 yang Anda ujikan dapat dijawab dengan benar oleh 10 dari 40 siswa, maka indeks tingkat kesukaran butir soal tersebut adalah:
P = 10 / 40 = 0,25
Indeks tingkat kesukaran butir soal bergerak antara 0,00 sampai dengan 1,00. Indeks tingkat kesukaran suatu butir soal (P) = 0,00 akan tercapai apabila seluruh peserta tes tidak ada yang menjawab dengan benar dan indeks tingkat kesukaran suatu butir soal (P) = 1,00 akan tercapai apabila seluruh peserta tes dapat menjawab dengan benar. Jadi butir soal yang mudah akan mempunyai P mendekati 1,00 dan butir soal yang sukar akan mempunyai P mendekati 0,00.
Menurut Fernandes (1984) kategori indeks tingkat kesukaran butir soal adalah sebagai berikut:
P >= 0,76 : mudah
0,25 <= P <= 0,75 : sedang
P <= 0,24 : sukar
Butir soal yang dianggap sangat bermanfaat (useful) adalah butir soal yang mempunyai indeks tingkat kesukaran dalam kategori sedang.
2. Daya Pembeda (D)
Daya pembeda butir soal memiliki pengertian seberapa jauh butir soal tersebut dapat membedakan kemampuan individu peserta tes. Butir soal yang didukung oleh potensi daya pembeda yang baik akan mampu membedakan peserta tes (peserta didik) yang memiliki kemampuan tinggi (pandai) dengan peserta didik yang memiliki kemampuan rendah (kurang pandai).
Indeks daya pembeda butir soal dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
D = PA – PB
Keterangan:
D adalah indeks daya pembeda butir soal
PA adalah proporsi kelompok atas yang menjawab benar
PB adalah proporsi kelompok bawah yang menjawab benar
Contoh:
Dalam menjawab butir soal nomor 2, diperoleh 6 dari 10 siswa yang termasuk dalam kelompok atas dapat menjawab benar dan 2 dari 10 siswa yang termasuk kelompok bawah dapat menjawab benar, maka indeks daya pembeda butir soal tersebut adalah:
D = (6/10) – (2/10) = 4/10 = 0,4
Yang dimaksud siswa kelompok atas adalah kelompok siswa yang memperoleh skor tinggi sedangkan yang dimaksud dengan siswa kelompok bawah adalah kelompok siswa yang memperoleh skor rendah setelah mengerjakan satu set suatu mata pelajaran.
Nilai indeks daya pembeda butir soal bergerak dari –1 sampai 1. Semakin tinggi indeks daya pembeda menunjukkan bahwa butir soal tersebut semakin dapat membedakan antara siswa yang pandai dengan siswa yang kurang pandai.
Secara teoritis indeks daya pembeda soal (D) = 1 akan tercapai apabila semua siswa kelompok atas dapat menjawab benar dan semua siswa kelompok bawah menjawab salah. Indeks daya pembeda soal (D) = – 1 akan tercapai apabila semua siswa dalam kelompok atas menjawab salah dan semua siswa kelompok bawah dapat menjawab benar.
Sedangkan indeks daya pembeda soal (D) = 0 tercapai apabila proporsi siswa yang menjawab benar dalam kelompok atas dan kelompok bawah adalah sama.
Butir soal yang mempunyai indeks daya pembeda negatif adalah butir soal yang kurang baik karena soal tersebut tidak bisa membedakan siswa yang pandai dengan siswa yang kurang pandai, di mana siswa yang kurang pandai justru lebih banyak menjawab benar daripada siswa yang pandai.
Butir soal mempunyai daya pembeda yang baik jika kunci (jawaban soal) mempunyai daya pembeda positif dan pengecohnya mempunyai daya pembeda negatif. Menurut Fernandes (1984) kategori indeks daya pembeda butir soal adalah sebagai berikut:
D >= 0,40 : sangat baik
0,30 <= D <= 0,39 : baik
0,20 <= D <= 0,29 : sedang
D <= 0,19 : tidak baik

C. Bagaimana Cara Melakukan Analisis Secara Sederhana?

Untuk melakukan analisis butir soal secara sederhana, berikut ini disajikan langkah-langkah yang diperlukan:
1. Hitunglah jumlah jawaban yang benar untuk seluruh siswa.
2. Berdasarkan jumlah jawaban yang benar dari seluruh siswa tersebut susunlah skor siswa mulai skor tertinggi ke skor terendah.
3. Berdasarkan urutan skor tersebut tentukan siswa yang termasuk dalam kelompok atas dan siswa dalam kelompok bawah. Untuk menentukan berapa persen siswa yang termasuk kelompok atas dan berapa persen yang masuk kelompok bawah gunakan rambu-rambu sebagai berikut:
  1. Jika jumlah siswa <= 20, maka jumlah kelompok atas dan kelompok bawah masing-masing 50%.
  2. Jika jumlah siswa 21 – 40 , maka jumlah kelompok atas dan kelompok bawah masing-masing 33,3%.
  3. Jika jumlah siswa >= 41, maka jumlah kelompok atas dan kelompok bawah masing-masing 27%.
4. Hitunglah jumlah siswa dalam kelompok atas yang memilih tiap-tiap alternatif jawaban yang disediakan.
5. Dengan cara yang sama hitunglah jumlah siswa dalam kelompok bawah yang memilih tiap-tiap alternatif jawaban yang disediakan.
6. Hitung jumlah seluruh peserta tes (kelompok atas, tengah, bawah) yang menjawab benar.
7. Tentukanlah tingkat kesukaran dan daya pembeda butir soal dengan menggunakan rumus yang telah disediakan.
Contoh:
Perhatikan jawaban 100 siswa terhadap butir soal nomor 1 berikut:
Kelompok
Alternatif Jawaban
Jumlah
A
B*
C
D
E
Atas
Tengah
Bawah
5
3
15
25
7
0
12
0
0
7
5
27
27
Catatan: * (kunci jawaban)
Indeks tingkat kesukaran butir soal di atas adalah:
P = B / N = (15 + 25 + 7)/100 = 47/100 = 0,47
Indeks daya pembeda butir soal di atas adalah :
D = PA – PB = (15/27) – (7/27) = 0,30

D. Bagaimana Memperbaiki Butir Tes?

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memperbaiki butir soal adalah sebagai berikut:
1. Perhatikan tingkat kesukaran butir soal. Butir soal dianggap baik jika mempunyai indeks tingkat kesukaran (P) antara 0,25 sampai dengan 0,75 atau yang mendekati angka tersebut.
2. Perhatikan daya pembeda butir soal. Butir soal dianggap baik jika kunci (jawaban soal) mempunyai indeks daya pembeda positif tinggi dan pengecohnya mempunyai indeks daya pembeda negatif.
3. Perhatikan stem atau pokok soalnya sebab stem yang ambigius akan membingungkan peserta ujian untuk menentukan jawabannya.

Statistika sederhana

Pilih salah satu jawaban yang paling tepat dari beberapa alternatif jawaban yang disediakan!
Gunakan data berikut untuk menjawab pertanyaan di bawah ini!
No
Nama
Hasil Tes Formatif
Hasil Tes Sumatif
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Nero
Cahaya
Dino
Adib
Sarmila
Nino
Endi
Ridha
Siti
Budi
Delta
Charles
Gultom
Mawar
Parmadi
Mahmudi
Sulaeman
Windarti
Surti
Warti
87
85
83
80
80
76
73
70
64
60
60
60
57
56
54
50
47
45
41
40
76
84
81
75
76
80
76
73
67
70
67
65
60
53
60
50
50
51
50
50
1. Rentang data tes sumatif adalah….
A. 26
B.34
C. 37
D. 47
2. Jika data tes formatif akan disajikan dalam tabel frekwensi distribusi maka banyak kelas interval yang harus dibuat adalah….
A. 4
B. 5
C. 7
D. 8
3. Jika data tes formatif akan disajikan dlam tabel frekwensi distribusi maka panjang kelas interval yang harus dibuat adalah….
A. 5
B. 7
C. 9
D. 12
4. Berapa harga rata-rata untuk data tes formatif?
A. 59,1
B. 60,4
C. 61,4
D. 63,4
5. Median untuk data tes sumatif adalah….
A. 60
B. 65
C. 67
D. 73
6. Modus untuk data tes sumatif adalah….
A. 50
B. 53
C. 67
D. 76
7. Besarnya simpangan baku untuk data tes formatif adalah….
A. 15,05
B. 13,02
C. 9,50
D. 7.98
8. Jika dilihat sebaran datanya maka data tes sumatif….
A. lebih heterogen
B. lebih homogen
C. mempunyai modus lebih dari satu
D. harga rata-rata lebih rendah dari tes formatif
9. Besarnya harga koefisien korelasi antara hasil tes formatif dan tes sumatif adalah….
A. 0,56
B. 0,76
C. 0,94
D. 1,0
10. Kesimpulan yang dapat ditarik dari hubungan antara hasil tes formatif dan tes sumatif adalah….
  1. tidak ada korelasi antara hasil tes formatif dengan tes sumatif
  2. terdapat korelasi negatif antara hasil tes formatif dengan tes sumatif
  3. terdapat korelasi positif antara hasil tes formatif dengan tes sumatif
  4. terdapat korelasi positif sempurna antara hasil tes formatif dengan tes sumatif

Validitas

Secara global validitas dibagi menjadi dua bagian yaitu validitas logis dan validitas empiris.

Validitas logis
Validitas ini meliputi:
1. Validitas Isi (Content Validity)
Suatu tes dikatakan memiliki validitas isi bila mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi pelajaran yang diberikan. Validitas ini dapat diusahakan tercapai sejak saat penyusunan (melihat materi dlm kurikulum).

2. Validitas Konstruksi (Construct Validity)
Suatu tes dikatakan memiliki validitas konstruksi bila butir-butir soal yang membangun tes tersebut mengukur setiap aspek berpikir seperti yang disebutkan dalam Tujuan Pembelajaran Khusus (Standar Kompetensi).

Validitas Empiris
Validitas ini meliputi:
1. Validitas “Ada Sekarang” (Concurrent Validity)
Suatu tes dikatakan memiliki validitas ini jika hasilnya sesuai dengan pengalaman (data pengalaman sudah ada).
Misal seorang guru ingin mengetahui apakah soal tes sumatif yang disusun valid, maka untuk hal ini diperlukan suatu kriteria masa lalu (nilai ulangan harian).

2. Validitas Prediksi (Predictive Validity)
Suatu tes dikatakan memiliki validitas prediksi bila mampu merperkirakan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Misal tes masuk Perguruan Tinggi adalah suatu tes yang mampu memperkirakan keberhasilan peserta didik dalam mengikuti perkuliahan sesuai dengan alokasi waktu.

Catatan:
Suatu tes dikatakan valid apabila tes tersebut tepat untuk mengukur apa yang hendak diukur.

Reliabilitas

Secara sederhana reliabilitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keajegan atau kemantapan hasil dari dua pengukuran terhadap hal yang sama.
Untuk menentukan reliabilitas terhadap hasil pengukuran dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu:
A. Metode Tes Ulang
1. Metode tes ulang (test-retest method) merupakan pendekatan yang paling tua untuk mengestimasi reliabilitas.
2. Metode ini dinamakan juga single-test-double-trial method.
3. Metode ini sangat berguna untuk mengukur kesetabilan pengukuran.
B. Metode Ekuivalen
1. Metode ekuivalen dinamakan pula alternate-forms methods atau double test-double-trial method.
2. Metode ini berkaitan dengan penggunaan dua buah tes yang relatif sama kepada peserta didik yang sama.
3. Kesamaan yang dimaksud pada tes adalah kesamaan tujuan, tingkat kesukaran dan susunan.
C. Metode Belah Dua
1. Metode ini sering disebut single-test-single-trial method.
2. Metode ini sangat sederhana, (i). Menyelenggarakan satu kali tes,
(ii). Membagi soal tes menjadi dua bagian yang sama banyak. (iii). Mengkorelasikan skor kedua belahan untuk mengestimasi reliabilitas tes.

Pedoman penskoran test kognitif

1. Contoh Penskoran Soal Pilihan Ganda
Cara penskoran tes bentuk pilihan ada dua, yaitu: pertama tanpa ada koreksi terhadap jawaban tebakan, kedua adalah adanya koreksi terhadap jawaban tebakan.
1. Penskoran tanpa koreksi terhadap jawaban tebakan adalah satu untuk setiap butir soal yang dijawab benar, sehingga jumlah skor yang diperoleh siswa adalah banyaknya butir soal yang dijawab benar.
Skor = (B/N) x 100
B = banyaknya butir soal yang dijawab benar
N = banyaknya butir soal
Contoh:
Banyaknya soal tes ada 40 butir.
Banyaknya jawaban yang benar ada 20 butir.
Jadi skor yang diperoleh adalah:
Skor = (20/40) x 100 = 50.
2. Penskoran dengan koreksi terhadap jawaban tebakan adalah sebagai berikut:
Skor = {[B – (S/(P – 1))]/N}x 100
B = banyaknya butir soal yang dijawab benar
S = banyaknya butir soal yang dijawab salah
P = banyaknya pilihan jawaban tiap butir soal
N = banyaknya butir soal
Butir soal yang tidak dijawab diberi skor 0.
Contoh:
Soal bentuk pilihan ganda yang terdiri 40 butir soal dengan 4 pilihan untuk setiap butir soal. Bila banyaknya butir soal yang dijawab benar ada 20, yang dijawab salah ada 12 dan yang tidak dijawab ada 8, maka skor yang diperoleh adalah:
Skor = {[20 – (12 / (4 – 1))]/40}x 100 = 40.

2. Contoh Pedoman Penskoran Soal Uraian Obyektif
Contoh:
Suatu bak mandi berbentuk balok berukuran panjang 150 cm, lebar 80 cm dan tinggi 75 cm. Berapa literkah isi bak mandi tersebut? (untuk menjawabnya tuliskan langkah-langkahnya!)
Pendoman penskorannya adalah:

Langkah
Penyelesaian
Skor
1
Isi balok = panjang x lebar x tinggi
1
2
3
= 150 cm x 80 cm x 75 cm
= 900. 000 cm3
1
1
4
Isi bak mandi dalam liter adalah:
(900.000/1000) liter
1
5
= 900 liter
1
Skor maksimum
5

3. Contoh Pedoman Penskoran Soal Uraian Non-Obyektif
Contoh:
Tulislah alasan-alasan yang membuat Anda bangga sebagai bangsa Indonesia!
Pedoman penskoran
Jawaban boleh bermacam-macam namun pada pokok jawaban tadi dapat dikelompokkan sebagai berikut.

Kriteria Jawaban
Rentang Skor
Kebanggaan yang berkaitan dengan kekayaan alam Indonesia
0 – 2
Kekayaan yang berkaitan dengan keindahan tanah air Indonesia (pemandangan alamnya, geografisnya, dll)
0 – 2
Kebanggaan yang berkaitan dengan keanekaragaman budaya, suku, adat istiadat tetapi tetapi bersatu
0 – 2
Kebanggaan yang berkaitan dengan keramahtamahan masyarakat Indonesia.
0 – 2
Skor maksimum
8

evaluasi pembelajaran

Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi pembelajaran merupakan penilaian kegiatan dan kemajuan belajar mahasiswa yang dilakukan secara berkala berbentuk ujian, prak-tikum, tugas, dan atau pengamatan oleh dosen. Bentuk ujian meliputi ujian tengah semester, ujian akhir semester, dan ujian tugas akhir. Pembobotan masing-masing unsur penilaian ditetapkan dengan kesepakatan antara dosen pembina matakuliah dan mahasiswa berdasarkan silabus matakuliah yang diatur dalam pedoman akademik masing-masing fakultas/program studi setara fakultas dan program pascasarjana.

Suatu matakuliah (kecuali matakuliah seminar, kuliah kerja, magang, praktek lapangan, dan tugas akhir) boleh diujikan pada akhir semester apabila jumlah pertemuan/tatap muka sekurang-kurangnya 80% dari total tatap muka. Mahasiswa dapat mengikuti ujian akhir semester apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1.
kehadiran ≥ 75% dari jumlah tatap muka untuk setiap matakuliah yang diprogram, kecuali ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; dan
2.
memenuhi ketentuan lain yang ditetapkan oleh fakultas/program studi setara fakultas.

Mahasiswa diperkenankan mengikuti ujian susulan apabila sakit atau melaksanakan tugas dari institusi. Prosedur ujian susulan sebagai berikut:

1.
mahasiswa mendaftar ujian susulan secara on-line dan mencetak formulir persetujuan (F1) dari SIAKAD serta melampirkan surat dokter atau surat tugas;
2.
mahasiswa meminta persetujuan kepada dosen pengampu/pembina matakuliah dengan membawa formulir Permohonan Ujian Susulan (F1);
3.
mahasiswa menyerahkan formulir persetujuan ujian susulan yang telah ditandatangani oleh dosen pengampu/pembina matakuliah kepada Operator Program Studi/Jurusan untuk dimintakan persetujuan Ketua Jurusan;
4.
mahasiswa menyerahkan formulir persetujuan ujian susulan yang telah ditandatangani oleh Ketua Jurusan kepada Operator Fakultas untuk dimintakan persetujuan Dekan atau Pembantu Dekan I.

Mahasiswa dapat mengikuti ujian tugas akhir (laporan, skripsi, tesis, atau disertasi), apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1.
telah menyelesaikan semua matakuliah yang ditentukan oleh fakultas/ program studi setara fakultas tanpa nilai E dengan IPK ≥ 2,00, PP ≥ 85% (untuk Ilmu-ilmu Kesehatan PP ≥ 90%); dan
2.
ketentuan lain yang ditetapkan oleh fakultas/program studi setara fakultas dan program pascasarjana. Penilaian prestasi hasil belajar mahasiswa dikelompokkan berdasarkan kriteria rentang nilai. Pengelompokan tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 4.4 Pengelompokan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa

Huruf Nilai Rentang Nilai Penggolongan
A 4,0 80 - 100 Sangat baik
B 3,0 70 - 79 Baik
C 2,0 60 - 69 Cukup
D 1,0 50 - 59 Kurang
E 0 0 - 49 Sangat kurang

Matakuliah dengan nilai B, C, dan D pada semua program pendidikan dapat diprogram ulang. Semua matakuliah yang diprogram ulang, nilai yang diakui adalah nilai yang diperoleh pada program terakhir.

Di samping evaluasi pembelajaran terhadap kemajuan belajar mahasiswa, juga dilakukan evaluasi terhadap proses belajar-mengajar. Pelaksanaan evaluasi proses belajar-mengajar dilakukan oleh fakultas/program studi setara fakultas. Komponen yang dievaluasi meliputi:

1.
kelengkapan dan kesesuaian antara perencanaan (silabus) dan pelaksanaan pembelajaran;
2.
kesesuaian antara sarana dan tujuan pembelajaran; dan
3.
peran serta mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran.

Selasa, 02 Februari 2010

Teori Belajar, Program Dan Prinsip Pembelajaran

Teori Belajar, Program Dan Prinsip Pembelajaran

1. Teori Disiplin Mental

Sebelum abad ke-20, telah berkembang beberapa teori belajar, salah satunya adalah teori disiplin mental. Teori belajar ini dikembangkan tanpa dilandasi eksperimen, dan ini berarti dasar orientasinya adalah “filosofis atau spekulatif”. Tokoh teori disiplin mental adalah Plato dan Aristoteles. Teori disiplin mental ini menganggap bahwa dalam belajar, mental siswa harus didisiplinkan atau dilatih.

2. Teori Behaviorisme

Rumpun teori ini disebut behaviorisme karena sangat menekankan perilaku atau tingkah laku yang dapat diamati atau diukur. Teori-teori dalam rumpun ini bersifat molekular, karena memandang kehidupan individu terdiri atas unsur-unsur seperti halnya molekul-molekul. Beberapa ciri dari rumpun teori ini, yaitu:

a. Mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil

b. Bersifat mekanistis

c. Menekankan peranan lingkungan

d. Mementingkan pembentukan reaksi atau respons

e. Menekankan pentingnya latihan

Ada beberapa teori belajar yang termasuk pada rumpun behaviorisme ini, antara lain:

a. Teori Koneksionisme

Menurut teori belajar ini, belajar pada hewan dan pada manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-prinsip yang sama.

Selanjutnya, dalam teori koneksionisme dikemukakan hukum-hukum belajar sebagai berikut:

1) Hukum Kesiapan (Law of Readiness)

Dimana hubungan antara stimulus dan respons akan mudah terbentuk manakala ada kesiapan dalam diri individu. Implikasi praktis dari hukum ini adalah, bahwa keberhasilan belajar seseorang sangat tergantung dari ada atau tidak adanya kesiapan.

2) Hukum Latihan (Law of Exercise)

Hukum ini menjelaskan kemungkinan kuat dan lemahnya hubungan stimulus dan respons. Implikasi dari hukum ini adalah makin sering suatu pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasainya pelajaran itu.

3) Hukum Akibat (Law of Effect)

Hukum ini menunjuk kepada kuat atau lemahnya hubungan stimulus dan respons tergantung kepada akibat yang ditimbulkannya. Implikasi dari hukum ini adalah apabila mengharapkan agar seseorang dapat mengulangi respons yang sama, maka harus diupayakan agar menyenangkan dirinya,

b. Teori Pengkondisian (Conditioning)

Teori pengkondisian (conditioning) merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori koneksionisme. Tokoh teori ini adalah Ivan Pavlov (1849-1936). Ia adalah ahli psikologi-refleksologi dari Rusia.

c. Teori Penguatan (Reinforcement)

Kalau pada teori pengkondisian (conditioning) yang diberi kondisi adalah perangsangnya (stimulus), maka pada teori penguatan yang dikondisi atau diperkuat adalah responsnya. Seorang anak yang belajar dengan giat dan dia dapat menjawab semua pertanyaan dalam ulangan atau ujian, maka guru memberikan penghargaan pada anak itu dengan nilai yang tinggi, pujian, atau hadiah. Berkat pemberian penghargaan ini, maka anak tersebut akan belajar lebih rajin dan lebih bersemangat lagi. Hadiah itu me-reinforce hubungan antara stimulus dan respons.

d. Teori Operant Conditioning

Psikologi penguatan atau “operant conditioning” merupakan perkembangan lebih lanjut dari teori koneksionisme dan “conditioning”. Tokoh utamanya adalah Skinner. Skinner adalah seorang pakar teori belajar berdasarkan proses “conditioning” yang pada prinsipnya memperkuat dugaan bahwa timbulnya tingkah laku adalah karena adanya hubungan antara stimulus dengan respons.

3. Teori Cognitive Gestalt-Filed

Teori kognitif dikembangkan oleh para ahli psikologi kognitif. Menurut teori ini, bahwa yang utama pada kehidupan manusia adalah mengetahui (knowing) dan bukan respons.

Suatu konsep yang penting dalam psikologi Gestalt adalah tentang “insight”, yaitu pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan.

Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental. Rumpun psikologi Gestalt bersifat molar, yaitu menekankan keseluruhan yang terpadu, alam kehidupan manusia dan perilaku manusia selalu merupakan suatu keseluruhan, suatu keterpaduan.

Beberapa prinsip penerapan teori belajar ini adalah:

a. Belajar itu berdasarkan keseluruhan

Teori Gestalt menganggap bahwa keseluruhan itu lebih memiliki makna dari bagian-bagian. Bagian-bagian hanya berarti apabila ada dalam keseluruhan. Makna dari prinsip ini adalah bahwa pembelajaran itu bukanlah berangkat dari fakta-fakta, akan tetapi mesti berangkat dari suatu masalah. Melalui masalah itu siswa dapat mempelajari fakta.

b. Anak yang belajar merupakan keseluruhan

Prinsip ini mengandung pengertian bahwa membelajarkan anak itu bukanlah hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mengembangkan pribadi anak seutuhnya. Oleh karenanya mengajar itu bukanlah menumpuk memori anak dengan fakta-fakta yang lepas-lepas, tetapi mengembangkan keseluruhan potensi yang ada dalam diri anak.

c. Belajar berkat insight

Telah dijelaskan bahwa insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Dengan demikian, belajar itu akan terjadi manakala dihadapkan kepada suatu persoalan yang harus dipecahkan. Belajar bukanlah menghafal fakta.

d. Belajar berdasarkan pengalaman

Pengalaman adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan makna kehidupan setiap perilaku individu.

C. Prinsip-Prinsip Pengajaran

Tugas guru mengelola pengajaran dengan lebih baik, efektif, dinamis, efisien, ditandai dengan keterlibatan peserta didik secara aktif, mengalami, serta memperoleh perubahan diri dalam pengajaran. Ada beberapa prinsip pengajaran diantaranya adalah:

Prinsip Aktivitas

Pengalaman belajar yang baik hanya bisa didapat bila peserta didik mau mengaktifkan dirinya sendiri dengan bereaksi terhadap lingkungan. Belajar yang berhasil mesti melalui berbagai macam aktivitas, baik aktivitas fisik maupun aktivitas psikis. Aktifitas fisik adalah peserta didik giat dan aktif dengan anggota badan. Dalam prinsip ini, maka tugas guru dalam mengajar antara lain:

Prinsip Motivasi

Motivasi berasal kata motive–motivation yang berarti dorongan atau keinginan, baik datang dari dalam diri (instrinsik) maupun dorongan dari luar diri seseorang (ekstrinsik). Motif atau biasa juga disebut dorongan atau kebutuhan, merupakan suatu tenaga yang berada pada diri individu atau siswa, yang mendorongnya untuk berbuat dalam mencapai suatu tujuan. Beberapa cara untuk menumbuhkankembangkan motivasi pada siswa adalah:

Prinsip Individualitas (Perbedaan Individu)

Setiap manusia adalah individu yang mempunyai kepribadian dan kejiwaan yang khas. Secara psikologis, prinsip perbedaan individualitas sangat penting diperhatikan karena:

a. Setiap anak mempunyai sifat, bakat, dan kemampuan yang berbeda

b. Setiap individu berbeda cara belajarnya

c. Setiap individu mempunyai minat khusus yang berbeda

d. Setiap individu mempunyai latar belakang yang berbeda

e. Setiap individu membutuhkan bimbingan khusus dalam menerima pelajaran yang diajarkan guru sesuai dengan perbedaan individual

f. Setiap individu mempunyai irama pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda

Maksud dari irama pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda adalah bahwa siswa belajar dalam kelas dalam usia perkembangan. Masing-masing siswa tidak sama perkembangannya, ada yang cepat ada yang lambat maka guru harus bersabar dalam tugas pelayanan belajar pada anak didiknya.

Prinsip Lingkungan

Lingkungan adalah sesuatu hal yang berada di luar diri individu. Lingkungan pengajaran adalah segala hal yang mendukung pengajaran itu sendiri yang dapat difungsikan sebagai sumber pengajaran atau sumber belajar. Diantaranya; guru, buku, dan bahan pelajaran yang menjadi sumber belajar.

Prinsip Konsentrasi

Konsentrasi adalah pemusatan secara penuh terhadap sesuatu yang sedang dikerjakan atau berlangsungnya suatu peristiwa. Konsentrasi sangat penting dalam segala aktivitas, terutama aktivitas belajar mengajar.

Prinsip Kebebasan

Prinsip kebebasan dalam pengajaran yang dimaksud adalah kebebasan yang demokratis, yaitu kebebasan yang diberikan kepada peserta didik dalam aturan dan disiplin tertentu. Dan disiplin merupakan suatu dimensi kebebasan dalam proses penciptaan situasi pengajaran. Seorang guru dituntut berusaha bagaimana menerapkan suatu metode mengajar yang dapat mengembangkan dimensi-dimensi kebebasan self direction, self discipline,dan self control.

Prinsip Peragaan

Alat indera merupakan pintu gerbang pengetahuan. Peragaan adalah menggunakan alat indera untuk mengamati, meneliti, dan memahami sesuatu. Pemahaman yang mendalam akan lahir dari analisa yang komprehensif sehingga menghasilkan gambaran yang lengkap tentang sesuatu.

Agar siswa dapat mengingat, menceritakan, dan melaksanakan suatu pelajaran yang pernah diamati, diterima, atau dialami di kelas, maka perlu didukung dengan peragaan-peragaan (media pengajaran) yang bisa mengkonkritkan yang abstrak.

Prinsip Kerjasama Dan Persaingan

Kerjasama dan persaingan adalah dua hal berbeda. Namun dalam dunia pendidikan (prinsip pengajaran) keduanya bisa bernilai positif selama dikelola dengan baik. Persaingan yang dimaksud bukan persaingan untuk saling menjatuhkan dan yang lain direndahkan, tetapi persaingan yang dimaksud adalah persaingan dalam kelompok belajar agar mencapai hasil yang lebih tinggi tanpa menjatuhkan orang atau siswa lain.

Prinsip Apersepsi

Apersepsi berasal dari kata ”Apperception” berarti menyatupadukan dan mengasimilasikan suatu pengamatan dengan pengalaman yang telah dimiliki. Atau kesadaran seseorang untuk berasosiasi dengan kesan-kesan lama yang sudah dimiliki dibarengi dengan pengolahan sehingga menjadi kesan yang luas. Kesan yang lama itu disebut bahan apersepsi.

Apersepsi dalam pengajaran adalah menghubungan pelajaran lama dengan pelajaran baru, sebagai batu loncatan sejauh mana anak didik mengusai pelajaran lama sehingga dengan mudah menyerap pelajaran baru.

Prinsip Korelasi

Korelasi yaitu menghubungkan pelajaran dengan kehidupan anak atau dengan pelajaran lain sehingga pelajaran itu bermakna baginya. Korelasi akan melahirkan asosiasi dan apersepsi sehingga dapat membangkitkan minat siswa pada pelajaran yang disampaikan.

Prinsip Efisiensi dan Efektifitas

Prinsip efisiensi dan efektifitas maksudnya adalah bagaimana guru menyajikan pelajaran tepat waktu, cermat, dan optimal. Alokasi waktu yang telah dirancang tidak sia-sia begitu saja, seperti terlalu banyak bergurau, memberi nasehat, dan sebagainya. Jadi semua aspek pengajaran (guru dan peserta didik) menyadari bahwa pengajaran yang ada dalam kurikulum mempunyai manfaat bagi siswa pada masa mendatang.

Prinsip Globalitas

Prinsip global atau integritas adalah keseluruhan yang menjadi titik awal pengajaran. Memulai materi pelajaran dari umum ke yang khusus. Dari pengenalan sistem kepada elemen-elemen sistem. Pendapat ini terkenal dengan Psikologi Gestalt bahwa totalitas lebih memberikan sumbangan berharga dalam pengajaran.

Prinsip Permainan dan Hiburan

Setiap individu atau peserta didik sangat membutuhkan permainan dan hiburan apalagi setelah terjadi proses belajar mengajar. Bila selama dalam kelas siswa diliputi suasana hening, sepi, dan serius, akan membuat peserta didik cepat lelah, bosan, butuh istirahat, rekreasi, dan semacamnya. Maka guru disarankan agar memberikan kesempatan kepada anak didik bermain, menghibur diri, bergerak, berlari-lari, dan sejenisnya untuk mengendorkan otaknya.

Beberapa Hal Pokok Dalam Proses Belajar Mengajar

Pembelajaran merupakan komunikasi dua arah. Mengajar dilakukan oleh guru, sedangkan siswa belajar. Menurut Saiful sagala pembelajaran ialah membelajarkan siswa dengan menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar, yang kesemua menjadi penentu dalam keberhasilan pendidikan. Menurut Corey pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia ikut serta dalam tingkah laku dalam kondisi khusus atau menghasilakn respon terhadap situasi tertentu. Menurut Omar Hamalik pembelajaran adalah

upaya mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik.

pembelajaran adalah upaya mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga negara yang baik.

pembelajaran adalah suatu proses membantu siswa menghadapi masyarakat sehari-hari.

Proses pendidikan merupakan kegiatan memobilisasi segenap komponen pendidikan oleh pendidik terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan. Bagaimana proses pendidikan itu dilaksanakan sangat menentukan kualitas hasil pencapaian tujuan pendidikan. Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua segi, yaitu kualitas komponen dan kualitas pengelolaannya. Kedua segi tersebut satu sama lain saling tergantung. Walaupun komponen-komponennya cukup baik, seperti tersedianya prasarana dan sarana serta biaya yang cukup, juga ditunjang dengan pengelolaan yang andal maka pencapaian tujuan tidak akan tercapai secara optimal. Demikian pula bila pengelolaan baik tetapi di dalam kondisi serba kekurangan, akan

mengakibatkan hasil yang tidak optimal.

Unsur-Unsur Pendidikan

Proses pendidikan melibatkan banyak hal, yaitu :

1) Subjek yang dibimbing (peserta didik).

Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebut demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya

2) Orang yang membimbing (pendidik).

Pendidik ialah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan yaitu orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, pelatihan, dan masyarakat/organisasi.

3) Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif).

Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antar peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan memanifulasikan isi, metode serta alat-alat pendidikan. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan).

4) Tujuan pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang sifatnya abstrak. Tujuan demikian bersifat umum, ideal, dan kandungannya sangat luas sehingga sulit untuk dilaksanakan di dalam praktek. Sedangkan pendidikan harus berupa tindakan yang ditujukan kepada peserta didik dalam kondisi tertentu, tempat tertentu, dan waktu tertentu dengan menggunakan alat tertentu.

5) Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan).

Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah diramu dalam kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi ini meliputi materi inti maupun muatan lokal. Materi inti bersifat nasional yang mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa. Sedangkan muatan lokal misinya mengembangkan kebhinekaan kekayaan budaya sesuai dengan kondisi lingkungan.

6) Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode).

Alat dan metode pendidikan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Alat melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan efektifitasnya. Alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan.

7) Tempat peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan).

Lingkungan pendidikan biasa disebut tri pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.

Tugas dan Peran Guru dalam Proses Belajar-Mengajar

Kegiatan Proses belajar-mengajar meliputi banyak hal sebagaimana yang dikemukakan oleh Adams & Decey dalam Basic Principles Of Student Teaching, antara lain guru sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partissipan, ekspeditor, perencana, suvervisor, motivator, penanya, evaluator dan konselor.

Tugas Guru

Tugas guru dalam bidang kemanusiaan adalah memposisikan dirinya sebagai orang tua ke dua. Dimana ia harus menarik simpati dan menjadi idola para siswanya. Adapun yang diberikan atau disampaikan guru hendaklah dapat memotivasi hidupnya terutama dalam belajar. Bila seorang guru berlaku kurang menarik, maka kegagalan awal akan tertanam dalam diri siswa.

Guru adalah posisi yang strategis bagi pemberdayaan dan pembelajaran suatu bangsa yang tidak mungkin digantikan oleh unsur manapun dalam kehidupan sebuah bangsa sejak dahulu. Semakin signifikannya keberadaan guru melaksanakan peran dan tugasnya semakin terjamin terciptanya kehandalan dan terbinanya kesiapan seseorang. Dengan kata lain potret manusia yang akan datang tercermin dari potret guru di masa sekarang dan gerak maju dinamika kehidupan sangat bergantung dari “citra” guru di tengah-tengah masyarakat.

Peran Seorang Guru

a. Dalam Proses Belajar Mengajar

Sebagaimana telah di ungkapkan diatas, bahwa peran seorang guru sangar signifikan dalam proses belajar mengajar. Peran guru dalam proses belajar mengajar meliputi banyak hal seperti sebagai pengajar, manajer kelas, supervisor, motivator, konsuler, eksplorator, dsb. Yang akan dikemukakan disini adalah peran yang dianggap paling dominan dan klasifikasi guru sebagai:

1) Demonstrator

2) Manajer/pengelola kelas

3) Mediator/fasilitator

4) Evaluator

b. Dalam Pengadministrasian

Dalam hubungannya dengan kegiatan pengadministrasian, seorang guru dapat berperan sebagai:

1) Pengambil insiatif, pengarah dan penilai kegiatan

2) Wakil masyarakat

3) Ahli dalam bidang mata pelajaran

4) Penegak disiplin

5) Pelaksana administrasi pendidikan

c. Sebagai Pribadi

Sebagai dirinya sendiri guru harus berperan sebagai:

1) Petugas sosial

2) Pelajar dan ilmuwan

3) Orang tua

4) Teladan

5) Pengaman

d. Secara Psikologis

Peran guru secara psikologis adalah:

1) Ahli psikologi pendidikan

2) Relationship

3) Catalytic/pembaharu

4) Ahli psikologi perkembangan

Peran Pendidik dalam Proses Belajar-Mengajar

Peran guru dalam proses belajar-mengajar , guru tidak hanya tampil lagi sebagai pengajar (teacher), seperti fungsinya yang menonjol selama ini, melainkan beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (counselor) dan manager belajar (learning manager). Hal ini sudah sesuai dengan fungsi dari peran guru masa depan.

Kehadiran guru dalam proses belajar mengajar atau pengajaran, masih tetap memegang peranan penting. Peranan guru dalam proses pengajaran belum dapat digantikan oleh mesin, radio, tape recorder ataupun oleh komputer yang paling modern sekalipun. Masih terlalu banyak unsur-unsur manusiawi seperti sikap, sistem, nilai, perasaan, motivasi, kebiasaan dan Iain-lain yang diharapkan merupakan hasil dari proses pengajaran, tidak dapat dicapai melalui alat-alat tersebut. Di sinilah kelebihan manusia dalam hal ini guru dari alat-alat atau teknologi yang diciptakan manusia untuk membantu dan mempermudah kehidupannya.

Peran guru dalam proses belajar mengajar meliputi banyak hal seperti sebagai pengajar, manajer kelas, supervisor, motivator, konsuler, eksplorator, dsb. Yang akan dikemukakan disini adalah peran yang dianggap paling dominan dan klasifikasi guru sebagai:

1) Demonstrator

2) Manajer/pengelola kelas

3) Mediator/fasilitator

4) Evaluator

Guru sebagai demonstrator

Melalui peranannya sebagai demonstrator, lecturer, atau pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu yang dimilikinya karena hal ini akan sangat menetukan hasil belajar yang dicapai oleh siswa.

Guru Sebagai Pengelola Kelas

Mengajar dengan sukses berarti harus ada keterlibatan siswa secara aktif untuk belajar. Keduanya berjalan seiring, tidak ada yang mendahului antara mengajar dan belajar karena masing-masing memiliki peran yang memberikan pengaruh satu dengan yang lainnya. Keberhasilan/kesuksesan guru mengajar ditentukan oleh aktivitas siswa dalam belajar, demikian juga keberhasilan siswa dalam belajar ditentukan pula oleh peran guru dalam mengajar.

Guru sebagai mediator dan fasilitator

Sebagai mediator guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena media pendidikan merupakan alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses belajar-mengajar.

Guru sebagai evaluator

Dalam dunia pendidikan, setiap jenis pendidikan atau bentuk pendidikan pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan akan diadakan evaluasi, artinya pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan tadi orang selalu mengadakan penilaian terhadap hasil yang telah dicapai, baik oleh pihak terdidik maupun oleh pendidik.

Rencana Program Pembelajaran

Penyusunan program memberikan arah pada suatu program itu sendiri. Penyusunan program pembelajaran akan berujung pada persiapan mengajar sebagai produk program pembelajaran jangka pendek, yang mencakup komponen program kegiatan belajar dan proses pelaksanaan program.

Komponen program mencakup kompetensi dasar, materi standar, metode, teknik, media dan sumber belajar, waktu belajar, dan daya dukung lainnya.

Dalam mengembangkan persiapan mengajar terlebih dahulu harus diketahui arti dan tujuannya, serta menguasai secara teoritis dan praktis unsur-unsur yang terdapat dalam persiapan mengajar.

Dalam persiapan mengajar harus jelas kompetensi dasar yang harsu dimiliki oleh peserta didik, apa yang harsu dilakukan, apa yang dipelajari,bagaimana mempelajari, serta bagaimana guru mengetahui bahwa peserta didik telah menguasai kompetensi tertentu.

Fungsi persiapan pembelajaran adalag sebagai fungsi perencanaan, dan fungsi pelaksanaan.

Prinsip-prinsip pengembangan persiapan mengajar:

kompetensi yang dirumuskan dalam persiapan mengajar harus jelas.

persiapan mengajar harus sederhana dan fleksibel, serta dapat dilaknasanakan dalam kegiatan pembelajaran.

kegiatan-kegiatan yang disusun harus menunjang dan sesuai dengan kompetensi dasar.

persiapan mengajar harsu utuh dan menyeluruh.

harus ada koordinasi antar komponen pelaksana program di sekolah.

Rumusan Tujuan Pembelajaran

A. Konsep, Fungsi dan Sumber Tujuan Pendidikan

1. Konsep Tujuan Pendidikan

Tujuan adalah merupakan komponen utama yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum. Zais (1976:297) menegaskan bahwa sebagai komponen dalam kurikulum, tujuan merupakan bagian yang paling sensitif, sebab tujuan bukan hanya akan mempengaruhi bentuk kurikulum tetapi juga secara langsung merupakan fokus dari suatu program pendidikan.

Tujuan pendidikan ini sangat luas. Biasanya merupakan pernyataan tujuan pendidikan umum, yang dapat dipakai sebagai petunjuk pendidikan seluruh negara tersebut.

Beberapa istilah tujuan yang menggambarkan pada tingkat yang berbeda-beda, seperti: Aims yang menunjukkan arah umum pendidikan. Secara ideal, aims merefleksikan suatu tingkat tujuan pendidikan berdasarkan pemikiran filosofis dan psikologis masyarakat. Menurut Zais, (1976:298) aims untuk tujuan pendidikan jangka panjang yang digali dari nilai-nilai filsafat suatu Bangsa.

Di Indonesia kita kenal tingkatan/hirarkis tujuan itu dalam beberapa istilah seperti Tujuan Pendidikan Nasional, Tujuan Institusional, Tujuan Kurikuler, dan Tujuan Instruksional Umum dan Khusus. (Depdikbud, 1984/1985:5)

2. Tujuan Pembelajaran

Tujuan institusional/goal dan tujuan kurikuler dijabarkan lagi dalam tujuan pembelajaran, tujuan ini lebih konkret dan lebih operasional yang pencapaiannya dibebankan kepada tiap pokok bahasan yang terdapat dalam tiap bidang studi. Pada saat ini tujuan pembelajaran umum dikenal dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar.

3. Fungsi Tujuan

Rumusan tujuan pendidikan yang tepat dapat berfungsi dan bermanfaat dalam kegiatan pengembangan kurikulum, minimal sebagai berikut:

1) Tujuan akan menjadi pedoman bagi disainer untuk menyusun kurikulum yang efektif, (Davies: 1976: 73, Pratt, 1980: 145) dengan demikian memberikan arah kepada para disainer kurikulum dalam pemilihan bahan pelajaran, yaitu bahan pelajaran yang menopang tercapainya tujuan pendidikan.

2) Tujuan merupakan pedoman bagi guru dalam menciptakan pengalaman belajar (Pratt, 1980: 145)

3) Tujuan memberikan informasi kepada siswa apa yang harus dipelajari (Pratt: 145, Davies: 73)

4) Tujuan merupakan patokan evaluasi mengenai keberhasilan program (proses belajar mengajar) (Pratt: 145, Daveis: 74)

5) Tujuan menyatakan kepada masyarakat tentang apa yang dikehendaki sekolah, apa yang hendak dicapai (Pratt: 145 – 146)

Dari uraian di atas jelas bahwa tujuan pendidikan merupakan patokan, pedoman orientasi bagi para pelaksana/pendesain pendidikan.

4. Sumber Tujuan

Kriteria yang yang hampir sama diajukan oleh Tyler (1949) yakni studi tentang pelajar, studi tentang kehidupan masyarakat di luar sekolah, dan saran-saran dari ahli mata pelajaran. Lebih jauh Tyler menekankan pendapatnya bahwa filsafat dan psikologi belajar merupakan “saringan” atau kriteria bagi penetapan lebih lanjut tujuan-tujuan pendidikan tersebut.

Menurut Zais (1976:301) sumber-sumber tujuan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni sumber empirik, sumber filosofi, dan sumber bidang kajian atau subject matter.

Smith, Stanley dan Shores (1957) mengajukan juga kriteria lain bagi penetapan tujuan yaitu keterwakilan, kejelasan, keterpertahankan, konsistensi dan fisibilitas.

Perumusan Tujuan Pendidikan

1. Klasifikasi Tujuan Pendidikan

Schubert (1986, 202-206) mengajukan empat tujuan pendidikan yaitu; (1)sosialisasi, (2)pencapaian, (3) pertumbuhan, dan (4)perubahan sosial. Sosialisasi merupakan tujuan yang harus dicapai anak didik agar mereka dapat hidup dengan baik dimasyarakat, dan dengan kebudayaannya.

Tujuan pendidikan pertumbuhan personal memerlukan penyesuai kurikulum yang mengakomodir kebutuhan pribadi, bakat, minat, dan kemapuan anak yang berbeda-beda. Perubahan sosial, menurut aliran ini sekolah dapat dan harus mengusahakan perbaikan sosial (Muhammad Ansyar, 1989:102).

2. Klasifikasi Tujuan Pembelajaran

Oleh karena sukar menetapkan tingkat suatu tujuan yaitu, apakah itu pada tingkat tujuan pendidikan nasional (aims), atau pada tingkat sekolah, atau ruang kelas, maka Zais (1976: 308-309) mengajukan tiga kategore (fakta, keterampilan, dan sikap) biasa dipakai sebagai cara utama untuk menyusun tujuan kurikulum (goals) dan tujuan pembelajaran (objectives).

Klasifikasi tujuan yang lebih sistematis telah dikemukakan Bloom (1956) dan Krathwohl, Bloom dan Masia (1964) seperti tertera dalam Zais (1976: 304-310) Tanner dan Tanner (1975:121-131). Tujuan pendidikan diklasifikasikan pada tiga ranah besar yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Proses kognitif diklasifikasikan ke dalam suatu urutan hirarkis, dari tingkat berpikir yang sederhana ke tingkat intelektual yang lebih kompleks:

1) Pengetahuan

2) Pemahaman

3) Aplikasi

4) Analisis

5) Sintesis

6) Evaluasi

Ranah afektif mencakup tujuan-tujuan yang berkaitan dengan demensi perasaan, tingkah laku, atau nilai, seperti apresiasi terhadap karya seni, berbudi pekerti luhur, dan lain-lain.

Ranah afektif dibagi menjadi lima tingkatan yang bergerak dari kesadaran yang sederhana menuju kekondisi di mana perasaan memegang peranan penting dalam mengontrol tingkah laku:

1) Menerima

2) Responsif

3) Menghargai

4) Organisasi

5) Karakteristik

Ranah psikomotor dibagi empat tingkatan, dari yang paling sederhana kepada tingkat yang paling kompleks, yaitu:

1) Observasi

2) Meniru

3) Praktek

4) Adaptasi.

3. Kriteria Perumusan Tujuan Pembelajaran

Dalam pendahuluan telah dikemukakan betapa pentingnya tujuan pendidikan dalam perencanaan dan pengembangan kurikulum dan pengajaran. Tujuan merupakan dasar orientasi sekaligus sesuatu yang akan dicapai dalam semua program kegiatan pendidikan. Seperti dikatakan Hilda Taba dalam (Davies, 1976: 56)

Merumuskan tujuan seperti dijelaskan sebelumnya harus runtun yaitu tujuan umum dijabarkan pada tujuan khusus. Selanjut tujuan khusus diteliti jenis-jenisnya, dinilai kepentingannya dan dicek berdasarkan kriteria, syarat-syarat tujuan lebih formal dan terinci, sehinga setiap komponen yang ada tidak terlampaui.

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan yang merupakan kriteria tujuan yang baik seperti berikut ini:

Tujuan harus selalu kosisten dengan tujuan tingkat di atasnya (Pratt, 1980:185). Tujuan-tujuan yang bersifat penjabaran dari suatu tujuan yang lebih tinggi jenjangnya harus sesuai atau tidak bertentangan dengan hal-hal yang diisayaratkan oleh tujuan tersebut. Misalnya tujuan instruksional yang dijabarkan langsung dari tujuan kurikuler harus mencerminkan tujuan kurikuler itu.

Tujuan harus tepat seksama dan teliti. Tujuan hanya berguna jika ia dirumuskan secara teliti dan tepat sehingga memungkinkan orang mempunyai kesamaan pengertian terhadapnya. Perumusan tujuan yang cermat akan memungkinkan kita untuk melaksanakannya dengan penuh kepastian.

Tujuan harus diidentifikasikan secara spesifik yang menggambarkan keluaran belajar yang dimaksudkan. Tujuan yang dirumuskan harus menunjuk pada pengertian keluaran dari pada kegiatan. Tujuan yang menunjukkan tingkat kemampuan atau pengetahuan siswa merupakan maksud utama kurikulum. Akan tetapi jika ia tidak pernah mengidentifikasi keluarannya, ia bukanlah tujuan kurikulum yang kualifait (Pratt, 1980:184).

Tujuan bersifat relevan (Davies, 1976:17) dan berfungsi (Pratt,1980:186). Masalah kerelevansian berhubungan dengan persoalan personal dan sosial, atau masalah praktis yang dihadapi individu dan masyarakat. Memang harus diakui bahwa terdapat perbedaan pengertian tentang kerelevansian itu karena adanya perbedaan masalah dan kepentingan antara tiap individu dan masyarakat. Jadi kerelevansian itu berkaitan dengan pengertian untuk siapa dan kapan. Di samping relevan, tujuan pun harus berfungsi personal maupun sosial. Suatu tujuan dikatakan berfungsi personal jika ia memberi manfaat bagi individu yang belajar untuk masa kini dan masa akan datang, dan berfungsi sosial jika ia memberi mafaat bagi masyarakat di samping pelajar.

Tujuan harus mempunyai kemungkinan untuk dicapai. Tujuan yang dirumuskan harus memungkinkan orang, pelaksana kurikulum untuk mencapainya sesuai kemampuan yang ada. Masalah kemampuan itu berkaitan dengan masalah tenaga, tingkat sekolah, waktu, dana, skope materi, fasilitas yang tersedia, dan sebagainya. Perumusan tujuan yang terlalu muluk (karena terasa lebih ideal) dan melupakan faktor kemampuan atau realitas hanya akan berakibat tujuan itu tak tercapai. Suatu program kegiatan dikatakan efektif jika hasil yang dicapai dapat sesuai atau paling tidak, tidak terlalu jauh berbeda dengan perencanaan.

Tujuan harus memenuhi kriteria kepantasan worthwhilness (Davies, 1976:18). Pengertian “pantas” mengarah pada kegiatan memilih tujuan yang dianggap lebih memiliki potensi, bersifat mendidik, dan lebih bernilai. Memang agak sulit menentukan tujuan yang lebih pantas karena dalam hal ini orang bisa mengalami perbedaan kesepakatan pengertian. Secara umum kita boleh mengatakan bahwa kriteria kepantasan harus didasarkan pada pertimbangan objektif, dengan argumentasi yang objektif. Dalam hal ini Profesor Peter dalam (Davies, 1976:18) menyarankan tiga kriteria (a) aktivitas harus berfungsi dari waktu ke waktu, (b) aktivitas harus bersifat selaras dan seimbang dari pada bersaing, mengarah ke keharomonisan secara keseluruhan, dan (c) aktivitas harus bernilai dan sungguh-sungguh khususnya yang menunjang dan memajukan keseluruhan kualitas hidup.

Selamat Datang